Berita Melalui Media Sosial Pergeseran Besar Dalam Cara Orang Mengonsumsi Berita
Berita Melalui Media Sosial – Dalam beberapa tahun terakhir, cara kita memperoleh informasi dan berita telah mengalami transformasi signifikan. Menurut sebuah riset oleh Pew Research Center, satu dari lima orang Amerika kini secara rutin mendapatkan berita melalui TikTok — angka ini naik tajam dibandingkan dengan tahun 2020. Pew Research Center Kondisi ini menunjukkan bahwa Berita Melalui Media Sosialplatform‑yang awalnya dilahirkan sebagai hiburan singkat kini juga menjadi saluran penting untuk konsumsi berita.
Fenomena ini punya beberapa implikasi penting:
- Pertama, kecepatan penyebaran informasi jadi semakin tinggi — video singkat, potongan berita, dan klip cepat bisa viral dalam hitungan jam.
- Kedua, formatnya berubah: bukan lagi artikel panjang atau siaran berita tradisional semata, tetapi konten yang lebih visual, lebih ringkas, seringkali dibumbui opini pribadi atau komentar pengguna.
- Ketiga, keraguan dan tantangan muncul sekitar kredibilitas, filter bubble, dan kemampuan pengguna membedakan antara fakta dan “viral” atau “sensasi” Berita Melalui Media Sosial.
Kenapa pergeseran ini penting?
Ada beberapa alasan mengapa tren ini layak mendapat perhatian serius:
1. Jangkauan yang luas
Platform seperti TikTok memiliki basis pengguna muda yang besar. Ketika generasi muda lebih banyak menghabiskan waktu di aplikasi tersebut, maka wajar jika mereka mulai mengakses berita melalui sana. Ini berarti pemain lama — televisi, surat kabar, portal berita — harus menyesuaikan diri. Tren ini menunjukkan bahwa “berita” tidak hanya dimonopoli oleh institusi besar lagi.
2. Format baru & tantangan jurnalistik
Konten berita dalam bentuk video pendek atau klip yang dibagikan pengguna memungkinkan berita tersebar lebih cepat, tapi juga membuka ruang untuk distorsi. Karena formatnya ringkas, kadang konteks terpotong, fakta mungkin kurang lengkap, dan klik atau tayangan menjadi prioritas utama. Hal ini menimbulkan tantangan besar bagi jurnalisme profesional yang mengutamakan verifikasi dan kedalaman Berita Melalui Media Sosial.
3. Dampak pada demokrasi & opini publik
Saat lebih banyak orang mendapatkan berita dari media sosial yang algoritmanya mengutamakan engagement (tonton, like, share), maka ada risiko munculnya “echo‑chamber” atau “filter bubble”. Orang cenderung melihat konten yang sesuai dengan pandangan mereka, yang dapat memperkuat polarisasi. Selain itu, platform viral bisa menjadi alat propaganda atau manipulasi informasi yang lebih efisien. Tren ini membuka pertanyaan penting tentang bagaimana menjaga kualitas berita dan literasi media di era digital Berita Melalui Media Sosial.
Contoh konkret & data terkini
Data dari Pew Research menunjukkan bahwa di antara orang dewasa di Amerika Serikat berusia di bawah 30 tahun, ada 43% yang menyatakan bahwa mereka “secara rutin” mendapatkan berita dari TikTok. Pew Research Center Angka ini menunjukkan lonjakan besar dari 2020, saat platform tersebut masih kurang dianggap sebagai sumber berita serius.
Selain itu, laporan lain menunjukkan bahwa dalam perkembangan teknologi dan pemasaran digital, tren seperti “creator economy”, video pendek, dan konten yang cepat tersebar (“viral”) semakin dominan. Vavoza+1 Dengan demikian, perubahan dalam konsumsi berita bukan hanya fenomena sosio‑kultural, tetapi juga berkaitan erat dengan kemajuan teknologi, algoritma media sosial, dan perubahan perilaku pengguna.
Tantangan yang muncul
Meskipun ada banyak manfaat — seperti kemudahan akses berita dan potensi jangkauan yang lebih luas — ada beberapa tantangan serius yang muncul:
Verifikasi & keandalan informasi
Konten viral sering kali mengorbankan detail, konteks atau sumber-sumber yang kredibel demi cepatnya penyebaran. Hal ini meningkatkan risiko disinformasi atau berita bohong (hoaks). Karena pengguna sering hanya menonton klip pendek atau “summary” singkat, mereka mungkin tidak mendapatkan gambaran lengkap dari suatu peristiwa Berita Melalui Media Sosial.
Algoritma dan echo chamber
Platform sosial cenderung menampilkan konten yang “menarik” untuk tiap pengguna berdasarkan algoritma. Itu bisa membuat seseorang hanya mendapatkan sudut pandang yang homogen, memperkeras pandangan yang sudah ada, dan memperlemah dialog lintas pandangan.
Perubahan model bisnis jurnalisme
Ketika berita tersebar melalui media sosial, model penerbit berita dan media tradisional harus berubah. Iklan digital, monetisasi lewat tayangan video, dan persaingan dengan “creator” menjadi kenyataan baru. Ini bisa menimbulkan dilema bagi media yang ingin mempertahankan standar jurnalistik sambil tetap bertahan di pasar Berita Melalui Media Sosial.
Implikasi untuk Indonesia dan Asia Tenggara
Tren global ini juga relevan untuk kawasan seperti Asia Tenggara termasuk Indonesia dan Kamboja. Dengan penetrasi internet dan pengguna media sosial yang tinggi, khususnya di kalangan muda, maka perubahan konsumsi berita di Asia Tenggara bisa jadi lebih cepat atau justru lebih kompleks karena faktor bahasa, regulasi, budaya dan tingkat literasi media yang berbeda .
Media dan pemerintah lokal perlu memperhatikan:
- Meningkatkan literasi media dan digital agar masyarakat mampu membedakan antara berita kredibel dan informasi yang menyesatkan.
- Membuat regulasi yang mendukung transparansi algoritma, perlindungan data, dan tanggung jawab platform media sosial.
- Mengadaptasi strategi berita mereka agar tetap relevan: menyediakan bentuk konten yang sesuai dengan preferensi pengguna (video pendek, infografik, interaktif) tanpa mengorbankan kualitas.
Harapan dan jalan ke depan
Melihat tren ini, ada beberapa hal yang menjadi harapan:
- Pengguna media sosial tidak hanya menjadi konsumen pasif, tetapi bisa memilih dan menilai sendiri sumber informasinya dengan lebih kritis.
- Platform media sosial meningkatkan mekanisme verifikasi, transparansi algoritma, dan kerjasama dengan media kredibel.
- Media tradisional dan digital menggabungkan kecepatan dan format yang disukai pengguna muda dengan standar jurnalistik yang kuat: laporan mendalam, fakta yang diverifikasi, dan konteks yang jelas.
- Regulasi dan kebijakan negara mendukung ekosistem informasi yang sehat: yaitu pluralistis, bebas dari tekanan politik atau ekonomi, dan akuntabel.
Perubahan dalam cara orang mengakses berita — khususnya melalui platform seperti TikTok — adalah fenomena yang tidak bisa diabaikan. Transformasi ini membawa peluang besar sekaligus tantangan serius. Dari sisi positif, berita bisa menyebar lebih cepat dan menjangkau khalayak yang lebih luas; namun dari sisi negatif, hadir risiko distorsi, kesalahpahaman, dan fragmentasi informasi.
Untuk pembaca seperti Anda dan saya, penting untuk menyadari bahwa “berita” bukan hanya soal apa yang kita lihat di layar atau aplikasi, tetapi juga tentang siapa yang membuatnya, bagaimana dibuatnya, dan apa konteks di baliknya. Di era dimana scrolling cepat, video singkat, dan algoritma menguasai, semakin penting untuk menjadi pembaca yang cerdas — tidak hanya menerima informasi, tetapi memeriksa, mempertanyakan, dan memahami.






